fiction
flashfiction
(Flashfiction) Dewi Air Mata
March 22, 2014
“Mengapa engkau terus menangis?”
Diana melepaskan kedua tangannya yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Mengadahkan kepalanya sedikit. Di hadapannya, ada seorang gadis yang sangat cantik seperti bidadari.
“Pacarku…...”
Ujar Diana masih terisak, sambil kembali menyembunyikan wajahnya. Tidak tahan dengan beban yang ia hadapi. Namun gadis yang berdiri di depannya itu bukan menunjukkan wajah iba, namun malah memasang wajah ketus.
“Huh. Cowok itu banyak! Kamu nggak perlu nangis!”
Diana kembali menatap gadis asing itu. Terheran-heran karena ada seseorang yang berani memarahinya padahal mereka berdua belum kenal sebelumnya.
“Kamu enak, cantik! Kamu pasti selalu disayang! Kamu nggak akan ngerti perasaanku”
Nada bicara Diana meninggi, namun masih terisak dan belum beranjak dari tempat duduknya. Gadis di depannya memalingkan muka dan masih juga belum beranjak dari tempatnya berdiri. Membiarkan rambut panjangnya diterpa angin sore di taman.
“Bukan gitu masalahnya... Orang mah nangis jarang-jarang, kalau kamu kan tiap hari. Aku capek ambilin air terus pakai ember di negeri air hanya untuk masuk secara hati-hati ke dalam bola matamu dan harus nyari-nyari lagi kelenjar laklimarmu. Mending kalau nangisnya dikit, ini banyak. Ya ngambil airnya harus banyak juga lah buat cadangan. Itu juga pakai ember, disanakan belum ada selang. Belum lagi bendahara raja sudah minta bayaran, tagihanmu doang yang numpuk. Kamu kira nangis itu gratis apa?! Juga belum lagi bubuk-bubuk pengecil dan pembesar badan yang mesti ku pakai tiap mau masuk ke matamu. Aku ngambil bubuk itu di Atlantik ya! Jauh! Dasar manusia! Kamu cuma mikirin sesama manusia atau dirimu sendiri. Nggak pernah mikirin yang lain”.
“Pacarku…...”
Ujar Diana masih terisak, sambil kembali menyembunyikan wajahnya. Tidak tahan dengan beban yang ia hadapi. Namun gadis yang berdiri di depannya itu bukan menunjukkan wajah iba, namun malah memasang wajah ketus.
“Huh. Cowok itu banyak! Kamu nggak perlu nangis!”
Diana kembali menatap gadis asing itu. Terheran-heran karena ada seseorang yang berani memarahinya padahal mereka berdua belum kenal sebelumnya.
“Kamu enak, cantik! Kamu pasti selalu disayang! Kamu nggak akan ngerti perasaanku”
Nada bicara Diana meninggi, namun masih terisak dan belum beranjak dari tempat duduknya. Gadis di depannya memalingkan muka dan masih juga belum beranjak dari tempatnya berdiri. Membiarkan rambut panjangnya diterpa angin sore di taman.
“Bukan gitu masalahnya... Orang mah nangis jarang-jarang, kalau kamu kan tiap hari. Aku capek ambilin air terus pakai ember di negeri air hanya untuk masuk secara hati-hati ke dalam bola matamu dan harus nyari-nyari lagi kelenjar laklimarmu. Mending kalau nangisnya dikit, ini banyak. Ya ngambil airnya harus banyak juga lah buat cadangan. Itu juga pakai ember, disanakan belum ada selang. Belum lagi bendahara raja sudah minta bayaran, tagihanmu doang yang numpuk. Kamu kira nangis itu gratis apa?! Juga belum lagi bubuk-bubuk pengecil dan pembesar badan yang mesti ku pakai tiap mau masuk ke matamu. Aku ngambil bubuk itu di Atlantik ya! Jauh! Dasar manusia! Kamu cuma mikirin sesama manusia atau dirimu sendiri. Nggak pernah mikirin yang lain”.
0 comments