fiction
Being sick on Friday night
March 13, 2015Kening dan leher ini makin panas.
Rasanya hanya butuh punggung jemarimu untuk menyejukkannya. Namun kau sungguh jauh berkilo-kilo meter dari ranjangku saat ini. So, how about listen to Wherever You Are by David Archuleta, now sweetheart? Sejujurnya, aku merasa terluka ketika kedua kalinya aku menemuimu lagi. Aku juga tak tahu sejak kapan bola matamu berubah menjadi jalan yang berbahaya dimana aku dapat jatuh cinta dengan begitu mudahnya. Dan aku bahkan tak merasa senang ketika senyummu mengembang, karena aku kehabisan nafas, aku butuh oksigen. Rasanya seperti panah panjang yang menancap terjebak di jantungku, berbarengan dengan letupan-letupan ledekan yang tak sabar ingin meledak. Bulan Maret belum beranjak, itu berarti aku juga belum sepenuhnya sembuh. Masih ada bekas gores luka yang dulu sempat kau taruh di hati. Ada duka yang mendalam, yang bahkan tak mampu kuceritakan pada orang lain karena begitu pedihnya. Cinta lagi? Tidak. Aku tak akan berbicara hal yang paling kurang kerjaan itu. Aku merasa bodoh karena tak mengerti bagaimana caranya mengontrol otakku sendiri. Memanjakannya dari hal-hal rumit yang di dalamnya tentunya ada dirimu! Salah siapa? Aku juga tak mengerti. Namun seketika aku melihatmu lagi, dan sekali lagi... Adakah yang lebih indah daripada melihat lengkungan bibirmu? Atau ketika kau berkedip? Atau ketika kau mengusap wajahmu dengan kedua tanganmu? Bahkan ketika kau mengernyitkan dahi? Kurasa tidak ada. Aku demam.
Keningku tambah panas, aku butuh zuppa soup dan martabak!
0 comments